Selalu ada dua sisi dari sebuah ambisi. Sisi pertama adalah soal motivasi. Ambisi memberikan motivasi untuk bertindak dan bergerak. Tanpa ambisi, kita seperti mobil tanpa bahan bakar. Tak bisa ke mana-mana, bukan?
Ya, kita membutuhkan satu sisi dari ambisi ini. Kita butuh motivasi yang menggerakkan tangan dan kaki dalam perjalanan hidup.
Sisi yang kedua jarang sekali disadari. Ambisi bisa menggelapkan mata hati. Terlalu berambisi sehingga tak lagi melihat dengan cermat dan seksama. Ketika ambisi sudah menggelapkan mata dan hati, maka kita seperti mengemudi kendaraan tanpa rem dan bahkan tanpa setir. Membahayakan diri dan juga orang lain.
Ketrampilan untuk menyeimbangkan dua sisi ambisi inilah yang krusial. Cukup untuk menggerakkan, namun tak menggelapkan mata hati. Bergerak namun terkendali. Saya mendapatkan ‘pencerahan’ tentang satu hal yang menyeimbangkan dua sisi ambisi ini lewat kisah seorang rekan.
Ia sudah mengalami saat ketika ambisi membawanya ke puncak keberhasilan. Ia juga sudah mengalami saat ambisi menghempaskannya ke dasar jurang. Tepuk tangan membahana karena prestasi sudah pernah didengarkannya dengan bangga. Caci maki penghakiman pun pernah dirasakan menusuk jantung hatinya.
“Hanya ada satu hal yang penting kalau kita mau mengendalikan ambisi,” katanya melanjutkan percakapan kami.
“Apa itu?” tanya saya
“Rasa cukup. Rasa cukup membuat kita tidak lagi menghendaki sesuatu dengan membabi buta. Kita masih dapat berpikir dengan jernih sebelum bertindak. Ambisi pun menjadi terkendali.”
Saya mengangguk pelan, menarik secangkir kopi dan menyesapnya.
Anda setuju dengan rekan tadi?
Baca Juga: