Himbauan Kementerian Pemuda dan Olaharaga untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum menyaksikan pemutaran film di gedung bioskop menuai banyak kontroversi dari berbagai pihak. Alih-alih untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme, wacana tersebut malah memancing banyak resistensi dari kaum milenial.
Akhirnya karena dianggap kontraproduktif, wacana tersebut akhirnya dibatalkan. Namun satu hal yang bisa diartikan oleh banyak pihak bahwa pemerintah terkesan tidak bijak dalam mengambil sebuah keputusan.
Coba bayangkan bila Anda gedung bioskop untuk menonton The Avengers: End of Game. Dengan softdrink dan sepaket makanan ringan di tangan, tentu Anda sedang tidak merencanakan untuk menunjukkan gairah nasionalisme Anda di dalam gedung bioskop, kan?
Apabila jika Anda datang bersama dengan pasangan, keluarga, atau teman-teman satu komunitas. Kita berharap mendapatkan suguhan hiburan dan bukan mengharu biru akibat bercumbu dengan emosi nasionalisme dan patriotisme.
Menyanyikan lagu kebangsaan tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator tingkat nasionalisme seseorang. Para legislator yang demen mencuri uang rakyat juga kerap menyanyikan lagu tersebut. Tapi apakah mereka sungguh-sungguh memiliki rasa nasionalisme yang layak dibanggakan? Mulut memang mendaraskan setiap syair Indonesia Raya dengan baik namun sesungguhnya perbuatan mereka mengingkari hakikat nasionalisme itu sendiri. Sungguh tidak ada arti dari mendendangkan lagu kebangsaan seperti itu. It is definetely fake! Nasionalisme itu diukur dari tindakan nyata yang memberikan dampak bagi bangsa dan negara.
Dulu saat saya bersekolah, menyanyikan lagu kebangsaan menjadi rutinitas yang harus dilakukan saat upacara bendera di hari Senin. Para siswa diajar untuk menyanyikan lagu kebangsaan itu dengan baik dan khidmat. Tujuannya sederhana: untuk memupuk rasa nasionalisme dan juga patriotisme. Dan itu berhasil, paling tidak untuk sementara.
Ketika duduk di bangku SMA, setiap lagu itu dikumandangkan saat upacara bendera, saya bersama dengan teman-teman satu gank memilih untuk menyanyikan lagunya Guns of Roses di barisan paling belakang. Lagu Yamko Rambe Yamko juga pernah kami nyanyikan pada suatu kesempatan yang lain. Hasilnya, kami mendapat hukuman dari guru dengan dijemur di tanah lapang. Bukannya merasa malu, kami malah bangga menjadi pusat perhatian. Aneh, kan?
Kesimpulannya begini: kaum milenial tidak membutuhkan suatu tampilan yang sifatnya normatif dan terkesan basa-basi. Tunjukkanlah di depan batang hidung mereka sebuak aksi nyata yang menggugah semangat berbangsa dan bernegara. Semisal dengan menginisiasi langsung pelbagai kegiatan kreatif, olahraga, kesenian, kampanye anti bullying dan narkoba maupun kegiatan lain yang berdimensi sosial. Dampak yang ditimbulkannya pun dapat langsung dirasakan secara nyata bagi masyarakat luas. Tidak dengan berdiri dengan sikap sempurna di gedung bioskop sambil menyanyikan lagu kebangsaan.
Indonesia Raya itu sakral dan punya nuansa magis lho. Cobalah nyanyikan lagu itu saat Tim Nasional Sepak Bola kita sedang bertanding di Gelora Bung Karno. Kita akan merinding dibuatnya. Tapi kita akan langsung merasa ilfil alias ilang feeling bila lagu maha dahsyat itu digunakan sebagai layaknya opening ceremony sebelum menonton tayangan film. Hal tersebut sama dengan meminta El Divo menjadi band pembuka sebuah orkes elekton Mawar Bersemi.
Menyanyikan lagu kebangsaan itu penting. Harus hukumnya. Saat melihat atlet-atlet Indonesia memenangkan sebuah pertandingan, dan kemudian menyanyikan lagu kebangsaan dengan diiringan pengibaran bendera merah putih, hati anak bangsa mana yang tidak tergugah? Lagu tersebut harus ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat.
Dalam menyikapi hal ini, alangkah baiknya jika Pemerintah melakukan telaah secara lebih komprehensif dengan mempertimbangkan banyak faktor sebelum mengambil sebuah keputusan publik. Jika tidak maka jangan salahkan persepsi sebagian orang yang mencap pemerintahan ini sebagai rezim yang grusa-grusu.
Baca Juga:
Seruput Kopi Cantik #7 | Bersyukurkah Kita Hidup di Indonesia?
Pahlawan Tak Harus Berjubah atau Bersayap, tapi yang Berani Melakukan 5 Hal Ini