“Waktu baru masuk kerja, saya orangnya malas. Engga bisa kerja, hidup saya berantakan. Sudah engga ada masa depan, deh. Tapi waktu itu atasan saya mau bimbing saya. Beliau memberikan saya kesempatan dan mengapresisasi apa yang saya kerjakan. Saya terdorong untuk belajar dan jadi lebih baik, sampai pada akhirnya saya bisa seperti sekarang ini, itu semua berkat beliau.”
Cerita itu keluar dari bibir seorang pemuda ketika diminta menceritakan orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya seraya menahan air mata dan emosi yang meluap.
Saya yakin atasannya tidak pernah menyangka perbuatan dan perkataannya berperan begitu rupa hingga mampu mengubah hidup pemuda itu.
Beliau tidak memilih untuk merendahkan dan membuatnya semakin terpuruk, melainkan membimbingnya dan memberikan apresiasi. Itulah titik awal dimana pemuda itu menemukan semangat untuk berubah.
Awal Tumbuhnya Kepercayaan Diri
Mendengar cerita itu, saya jadi teringat dengan diri saya pada masa awal kuliah. Sangat pemalu, tertutup, dan tidak percaya diri, bahkan masih ada bekasnya sampai sekarang.
Saya tidak mengerti apa penyebab terbentuknya karakter tersebut. Belakangan, saya mulai dapat menarik kesimpulan setelah membaca sebuah berita berisikan riset bidang psikologi yang memaparkan bahwasanya apresiasi pada anak memengaruhi kepercayaan dirinya hingga dewasa.
Sebagai seorang anak yang tumbuh ditengah keluarga yang berorientasikan hasil dan minim memberikan pujian, saya merasa riset tersebut “gue banget” dan akhirnya menerima karakter itu sebagai sebuah takdir. Saya takut berekspresi dan dihantui pemikiran “apa kata orang”.
Sampai suatu ketika sebuah tugas memaksa saya untuk menuliskan kisah hidup pribadi dan membagikannya. Tugas ini amat sulit bagi saya. Pertama, saya belum pernah menulis. Kedua, tulisan itu harus dibagikan dan disaksikan orang lain. Namun apa boleh buat, yang namanya tugas harus dikerjakan.