Saya menangis tersedu-sedu waktu itu. Saya masih mengingatnya dengan sangat jelas. Saat itu saya masih berusia 15 tahun. Saya menangis ketika saya menyadari secara penuh bahwa saya memiliki apa yang disebut beberapa orang sebagai kelainan orientasi seksual.

Ya, saya tertarik bukan ke lawan jenis, melainkan kepada yang sejenis. Langsung terbesit dalam benak saya untuk segera menutupi kecenderungan yang tidak lazim ini serat-eratnya. “Jangan sampai ketahuan” hati ini menegur.

Bagaimana jika orang lain tahu? Saya membayangkan akan menerima: tatapan mata yang merendahkan, bibir yang mencibir, menjadi omongan hangat, bahkan mungkin akan dibully oleh teman-teman. Selain itu, dampak yang paling saya takuti jika hal ini ketahuan adalah bahwa saya akan dikucilkan oleh semua orang yang dekat.

Tidak! Tidak boleh ada yang tahu! Saya mulai berpura-pura mengejar gadis-gadis cantik di sekolah. Saya mematikan sifat dan sikap saya yang mengandung sisi feminim. Berusaha berolahraga dan tampak kasar dalam setiap pertandingan. Pokoknya lakukan selaki-laki mungkin, jangan sampai orang curiga. Bahkan, ketika saya menulis artikel inipun, saya memilih memakai status anonim, agar bisa tetap bersembunyi dalam kehati-hatian.

Perjuangan Saya

Siapa bilang saya mau hidup seperti ini? Jangan berpikir ketika menjadi seorang gay, itu adalah pilihan saya, seperti memilih kuliah di mana dan jurusan apa. Jika itu menjadi pilihan saya, mengapa saya sering menangis dengan keadaan ini?

Saya berjuang mati-matian untuk bisa menyukai lawan jenis. Mulai mencoba pendekatan kepada para gadis, memaksa perasaan untuk bisa merasakan getaran-getaran cinta terhadap lawan jenis seperti yang kualami terhadap sesama jenis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here