“Ha … Si Antok mau menikah lagi? Padahal belum genap 5 bulanlalu istrinya meninggal,” celetuk seorang kawan saya setelah mendengar kabar dari seseorang melalui telepon genggamnya.
Menikah lagi bagi orang yang telah bercerai atau yang isterinya telah meninggal adalah sebuah hal yang lumrah. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa pernikahan kedua punya dampak dan resiko yang tidak bisa dibilang kecil?
Saya dan isteri memiliki sebuah kebiasaan tertentu, yaitu gemar mengamati perilaku orang, khususnya yang kami tahu telah bercerai. Ada perbedaan sikap dan tindakan antara laki-laki dan perempuan setelah mereka bercerai.
Yang sering terjadi, perempuan lebih memilih menjadi orangtua tunggal daripada menikah lagi. Sebaliknya, laki-laki tanpa melihat usianya, sebagian besar akan memilih menikah lagi.
Mungkin sudah “dari sananya” kalau seorang laki-laki ditinggalkan isterinya, baik karena si isteri meninggal, meminta cerai atau sebab-sebab lainnya, maka dapat dipastikan ia ingin menikah lagi.
Wong belum ditinggal saja penginnya kawin lagi, kok! Benar, kan? Ha… ha…! Jarang lho ada laki-laki yang tetap memilih sendiri setelah ditinggal istri. Kalau pun ada tentu mereka punya pertimbangan-pertimbangan lain di luar kepentingan dirinya sendiri.
Di area gereja tempat kami beribadah, ada seorang bapak penjual bakso yang mangkal. Setiap usai ibadah, gerobak bakso yang mangkal dekat parkiran gereja itu selalu laris manis dikerubuti oleh anggota jemaat. Ada yang makan di tempat, ada pula yang minta baksonya dibungkus untuk dibawa pulang alias “take away”.
Ya, rasa baksonya memang terbukti enak. Namun, yang ingin saya ceritakan di sini bukan tentang baksonya, tetapi tentang sikap dan tindakan bapak penjual bakso tersebut setelah ditinggal istrinya.
Beberapa bulan setelah istri penjual bakso itu meninggal karena kanker, dengan setengah bercanda saya bertanya, “Bapak tidak menikah lagi?” Kemudian bapak itu menjawab dengan spontan dan singkat namun jelas, “Tidak, Mas! Kalau saya kawin lagi saya yang seneng, tetapi anak-anak saya belum tentu seneng; sebab bagaimana pun itu kan orang lain. Lebih baik saya tetap sendiri tetapi bisa bersama anak-anak saya,” tuturnya lebih lanjut.
Wow . . . bagi saya itu jawaban di luar dugaan yang terlontar dari seorang penjual bakso. Saya lantas jadi berpikir, bagaimana seorang penjual bakso yang hidupnya sederhana dan tidak berpendidikan tinggi bisa punya pandangan seperti itu?
Saya mendapat 3 pelajaran dari kejadian ini:
1. Bukan sekedar memenuhi kebutuhan pribadi melainkan kepentingan bersama
Jika seorang duda, ingin menikah lagi, ia sebaiknya membicarakan terlebih dulu dengan anak-anaknya mengenai keinginannya ini. Ini adalah sebuah tindakan yang wajib dilakukan, apalagi jika anak-anak masih dalam usiayang membutuhkan perhatian penuh dari orangtua. Demikian pula bagi seorang janda yang berencana membina rumah tangga lagi.
Mengutamakan kepentingan keluarga yang sudah ada jauh lebih penting daripada memulai sesuatu yang baru, tetapi belum tentu berhasil. Jangan hanya karena alasan mencari pasangan baru yang dapat menemani di masa tua, kita lantas mengabaikan tanggung jawab terhadap anak kita. Ingatlah bahwa pada saat ibu tiada, justru anak membutuhkan perhatian khusus.
Bapak penjual bakso itu bisa saja menikah lagi, apalagi sebagai penjual bakso ia butuh orang yang bisa membantunya menyiapkan dagangan baksonya. Namun, ia memilih tetap sendiri dengan alasan anak-anak masih membutuhkannya.