Kaget! Pastinya! Siapa yang sangka ya mereka akan bercerai? Demikianlah kira-kira reaksi rekan saya dalam percakapan ringan ditengah-tengah makan malam bersama hari itu.
‘Yang benar!’ Kok bisa ya?’, rekan lain pun ikut menimpali.
Percakapan yang awalnya ringan itu pun seketika berubah menjadi hangat. Bukan karena isu perceraian itu sendiri, tapi karena ‘siapa’ yang bercerai. Ya! Karena kasus perceraian sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Menyedihkan? Prihatin? Menyesalkan? Yes! Pastinya.
Tapi bukankah hampir setiap hari kita mendengar kisah klasik perpisahan seperti ini? Lagi-lagi yang membuat cerita ini tidak biasa adalah tokoh di balik kisah ini. Gading Martin dan Gisel, adalah publik figur alias artis ibukota yang dikagumi banyak orang.
Ketika menulis artikel ini, saya pun langsung teringat saat pak Ahok dan istrinya yang juga memutuskan untuk berpisah. Banyak orang berdiskusi dan menyayangkan berita tersebut.
Namun demikian, daripada menduga-duga apalagi menyebar hoaks di seputar kabar gugatan itu, yuk kita kembali mencoba untuk mengambil sebuah refleksi hidup yang memberikan pelajaran berharga buat kehidupan rumah tangga kita masing-masing.
Dari kisah gugatan cerai yang marak dipercakapkan, inilah tiga fakta kehidupan yang terungkap:
1. Berhenti memproduksi ulang sebuah kesalahan
Suatu kali saya berkunjung pada sebuah keluarga yang ditengarai dalam kondisi yang tidak sehat. Konflik yang berkepanjangan memberi isyarat bahwa keluarga muda ini perlu bantuan dari orang lain. Saat saya datang berkunjung dan bertemu dengan pasangan ini, seketika, dalam percakapan, sang istri berujar: “Pak, coba lihat, Ahok saja bercerai! Jadi tidak salah kalau saya juga minta cerai kan, pak?”
Tanpa dia sadari, tindakan yang salah, yang dilakukan publik figur, cenderung menjadi dasar sebuah kebenaran.
Alih-alih mencari apa yang menjadi kebenaran, kita justru mencoba membenarkan diri kita dari kesalahan orang lain. Share on XMohon untuk dipahami, saya tidak bermaksud untuk menjadi ‘hakim’ yang menilai keputusan yang mereka ambil. Tapi sejujurnya, memutuskan sesuatu atas dasar pilihan yang diambil oleh orang lain, bukanlah sebuah kebenaran.
So please! Kita tak pernah bisa menyelami semua peristiwa yang dialami oleh pasutri dalam menjalani bahtera rumah tangga mereka. Apapun keputusan mereka, biarlah menjadi bagian mereka mempertanggung jawabkannya. Sekalipun kita tahu keputusan itu salah.
Bagaimana pun juga, sebuah keputusan yang diambil sebuah keluarga tak bisa menjadi landasan bagi kita untuk meniru atau bahkan membenarkan keputusan kita.
Tak ada orang yang sempurna, maka jadikan yang Sang Sempurna itu saja sebagai dasar pengambilan keputusan.