Minggu malam setelah selesai dari mengajar anak-anak Sekolah Minggu, saya dan teman saya, yang sudah menjadi seorang ibu muda, membiasakan diri untuk bercengkerama. Kami saling sharing atau menghabiskan waktu berkuliner bersama.
Malam itu, pesan yang sama sebanyak empat kali diperdengarkan dengan sengaja di telinga saya:
“Makanya itu Dek, kalau pilih pasangan yang bener-bener. Jangan sampai menyesal seperti saya.”
Ini adalah minggu malam kesekian kalinya kami membicarakan masalah pasangan hidup. Ibu ini, bukan hanya sebagai rekan sekerja dan sepelayanan, melainkan sudah seperti ibu dan kakak untuk saya. Banyak hal telah kami diskusikan, banyak petuah telah saya dengar, tetapi minggu malam kali itu dia menyampaikan sebuah pesan yang keras untuk saya.
Di tengah hari-hari perenungan untuk mengakhiri masa lajang, di saat itu pula banyak bermunculan petuah-petuah yang seolah menantang saya berpikir lagi dengan matang.
Takut? Tidak.
Hanya saja, apakah semua akan berjalan sebaik yang saya doakan dan harapkan bersama pasangan saya kelak?
Saya menyadari, nasihat-nasihat itu datang dari orang-orang terbaik. Bukan hanya mereka mendoakan yang terbaik, tetapi juga mengharap dan menantikan yang terbaik untuk masa depan saya.
Seorang laki-laki yang baik untuk saya, sesuai ekspektasi mereka. Walaupun saya juga harus sadar, bagaimanapun setiap orang punya pilihan masing-masing yang mungkin berbeda satu sama lain.
Ibu tersebut menceritakan pengalaman kehidupan rumah tangganya. Bagaimana hubungan dengan suami dan juga masalah keuangan keluarga yang kerap kali menjadi pemicu pertengkaran rumah tangga.
Tetesan air matanya pertanda, sahabat saya mengharapkan sesuatu yang baik untuk saya kelak. Harapan tulus itu dapat saya rasakan dalam kata-katanya,
“Jangan sampai salah pilih, Dek. Dipikir matang-matang kalau mencari pasangan.”
Baca Juga: Cinta Itu Melek: 5 Panduan Sederhana Mendapatkan Jodoh. Nomor Berapa yang Belum Anda Coba?