Gempa bumi adalah hal biasa bagi kami di Palu.

Yang tak biasa adalah gempa disusul gelombang tinggi yang kemudian menyapu bersih wilayah pesisir. Lebih tak biasa lagi, tanah yang tergulung seperti karpet hingga kompleks perumahan tenggelam atau semburan lumpur yang menghanyutkan perkampungan.

Tak ada yang menyangka, likuifaksi bukan hanya setting-an film. Tanah yang membelah dan kembali menutup juga nyata.

Ribuan jiwa lepas dari raga pemiliknya, menyisakan duka yang mendalam dan trauma.

 

 

Apakah Harus Pulang?

Sehari setelah peristiwa mencekam itu terjadi, saya bergumul serius. Apakah harus pulang?

Seorang sahabat memberi tanya, bukan jawaban atas pergumulan itu. “Kalau kamu merasa sulit menghilangkan bayangan anak-anak penyintas bencana, bisa jadi itu panggilan. Cobalah telaah lagi suara-suara batin,” katanya melalui pesan singkat.

Kata ‘pulang’ sendiri perlu ditelaah lagi. Pulang untuk apa? Karena saya tidak tahu realitas yang sedang terjadi di lapangan.

“Agar kalo pulang pun, sudah siap dengan segala sesuatunya,” lanjutnya, memicu perenungan pribadi.

Menjadi relawan yang turun ke lapangan artinya siap dengan segala risiko. Bisa jadi, pulang yang saya maksud sesungguhnya adalah pulang kepada Sang Pencipta melalui jalan ini.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here