Saya memandangi dua garis merah itu dengan perasaan yang campur aduk. Separuh hati ingin menangis, dan setengahnya lagi membisikkan sebuah penguatan kepada saya.
“Ini berkat. Ayo katakan ke dirimu sendiri, ini berkat dari Tuhan.”
Saya menyadari bahwa kedua garis itu akan mengubah seluruh rencana yang sedang giat-giatnya disusun. Perubahan yang sangat mendadak, dan saat itu terasa menyesakkan. Saya akan menjadi ibu dari seorang bayi lagi dalam jangka waktu sembilan bulan ke depan!
Bukannya saya tidak bersyukur atas kehamilan ini. Saya hanya tidak siap menghadapi kenyataan bahwa mimpi saya untuk bisa berkarier harus ditunda lagi — untuk kesekian kalinya.
Saat itu saya tengah giat-giatnya menuntaskan naskah untuk buku cerita anak. Ada tawaran dari sebuah lembaga pembedayaan SDM untuk menjadi coach tetap bagi sejumlah anak yang hendak menjadi penulis cilik. Pendek kata, saya sudah “kebelet’” ingin produktif dan memiliki penghasilan yang lebih lagi dari mengejar passion saya.
Hamil kembali berarti harus memiliki pembantu. Padahal saya sudah merasa nyaman dengan status no maid selama 3 tahun belakangan ini. Bagi saya pribadi, memiliki pembantu sama saja dengan menambah kepenatan di dalam hidup.
Perasaan gundah itu diikuti dengan aroma kejengkelan yang mendadak menyeruak atas reaksi beberapa pihak yang kaget dengan kehamilan saya. Sejumlah pernyataan itu mendadak membuat saya sensitif stadium 4.
“Hebat banget, kamu. Produktif berkarya dan beranak melulu.”
“Wah, pasti kamu ndak pakai pengaman, kan? Payah. Terus piye?”
“Kamu rajin amat bikin anak. Nggak capek tho mengurus bayi lagi?”
“Kalo cowok lagi gimana? Nambah lagi sampai punya anak cewek!”
Belum lagi pernyataan yang bersifat menyudutkan, yang seolah mengatakan bahwa saya sangat tidak bersyukur bisa hamil kembali dengan begitu mudah,sementara orang lain harus mengusahakan dengan segenap kekuatan dan dana yang tidak sedikit.
Harus diakui, momen tersebut memang saya sebut sebagai “unexpected pregnancy”. Namun jangan berpikir bahwa kata “unexpected” itu mengacu kepada sesuatu yang tidak diharapkan. Saya lebih memosisikannya sebagai sebuah hal yang tidak terduga.
Saya memutuskan untuk berhenti bertanya mengapa hal ini terjadi. Sebelum memasuki tahap denial, saya meminta pertolongan Tuhan untuk bisa melihat sisi baik dari kejadian ini.
Lalu, di mana keindahan sebuah kehamilan yang tidak terduga itu?
1. Sebuah Kepercayaan Lagi untuk Membesarkan Pria yang Takut akan Tuhan
Setahun yang lalu, saya pernah menuliskan sebuah surat kecil untuk kedua putra terkasih, Dave dan Jonathan. Blog pribadi menjadi tempat curahan isi hati dan harapan saya untuk dapat membesarkan sosok pria yang mampu menjadi kepala keluarga yang mengutamakan Tuhan terlebih dulu.
Pengalaman masa lalu di mana tidak ada nya figur ayah dalam keluarga – meskipun saya memiliki ayah secara fisik – menyisakan sebuah penugasan besar dalam diri saya. Saya merasa berutang untuk membesarkan pria yang memiliki integritas yang dapat dibanggakan.
Itulah mengapa, dalam paragraf terakhir, saya menuliskan kalimat sebagai berikut:
“Adalah sebuah kerinduan bagi Mama untuk bisa melihat kalian bisa membawa calon istrimu untuk lebih mengasihi Tuhan dibandingkan dirimu sendiri. Mama berdoa agar kalian memakai lutut sebagai senjata terampuh untuk berdoa, karena seorang lelaki yang tidak mau merendahkan diri untuk berlutut di hadapan-Nya tidak layak berlutut untuk melamar seorang gadis dengan cincin di tangannya.”