Dalam kurun waktu kurang dari empat bulan, saya harus melayani penghiburan tiga keluarga, termasuk ketika papa mertua berpulang kepada Sang Pencipta. Tentu banyak kesedihan dan rasa kehilangan, terlebih ketika kepergian orang terkasih tersebut terkesan sangat mendadak.
Namun, entah mengapa, setiap kali ada berita duka, saya tidak lagi terlalu kaget atau terlalu sedih. Perasaan seperti ini muncul sejak Papa meninggal sekitar delapan tahun yang lalu. Sejak kejadian itu, saya merasa bahwa kematian adalah hal yang wajar, yang akan dialami setiap manusia. Hanya saja, kapan waktunya tiba dan bagaimana hal itu terjadi, adalah sebuah misteri.
Falsafah Jawa, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, mengatakan, “Urip iku mung mampir ngombe.” Artinya, hidup itu hanya sekedar mampir minum. Ungkapan ini menggambarkan betapa hidup manusia itu sangat singkat. Sesingkat kita mampir minum di warung.
Walaupun sebetulnya saat ini banyak orang yang justru berlama-lama menikmati minuman di warung atau kafe, tetap saja, suatu saat mereka tidak bisa selamanya nongkrong di sana. Akan tiba saatnya mereka akan meninggalkan warung atau kafe tersebut. Kembali ke rumah.
Ya, warung atau kafe itu bukanlah rumah. Itu hanyalah tempat persinggahan sementara sebelum melanjutkan perjalanan.
Demikian juga kehidupan kita di dunia ini, hanyalah sementara.
Rata-rata umur pria di Indonesia sekitar 69 tahun, sedangkan wanita bisa mencapai 73 tahun. Sementara itu, rekor manusia tertua di dunia saat ini adalah 112 tahun. Ya, hanya sebatas itu saja kehidupan kita di dunia ini.
Kita tidak akan selamanya ada di dunia ini, suatu saat kita akan kembali.
Kembali ke mana ?
Secara umum, manusia setuju tentang keberadaan surga dan neraka, yang dipercayai sebagai tempat tinggal setelah kematian datang menjemput. Surga atau neraka akan menjadi tempat kekekalan kita. Tentu tidak ada satu orang pun yang berharap menjadi penghuni neraka, tempat siksaan dan penderitaan kekal. Sebaliknya, setiap kita berharap mendapatkan kemurahan untuk dapat masuk surga, tempat yang sangat indah.
Seberapa keras kita berusaha, bekerja, ketika maut datang, tidak ada yang dapat kita bawa. Tidak harta kita, tidak pula kebanggaan, kehormatan, gelar, atau apa pun juga. Yang tertinggal hanyalah kenangan semata. Apakah kenangan akan hal-hal yang baik? Atau sebaliknya?
Jika kita bekerja dan berusaha begitu keras untuk sesuatu hal yang hanya dapat kita nikmati sementara saja, selama kurun waktu tertentu—mungkin 69 tahun, 73 tahun, atau bahkan 112 tahun—bukankah seharusnya kita mempersiapkan diri lebih lagi untuk menghadapi kekekalan?
Kita bekerja delapan jam sehari atau bahkan lebih, tetapi berapa lama waktu yang kita berikan untuk mempersiapkan diri menghadapi kekekalan? Click To TweetBaca Juga: Di Hidup yang Aneh Ini, Kita Semua Mencari
Jika kita bekerja, niatkan itu sebagai bekal untuk kekekalan.
Jika kita belajar, niatkan itu untuk kekekalan.
Jika kita berumah tangga, niatkan itu untuk kekekalan.
Apa pun yang kita kerjakan dan lakukan di dunia ini, niatkan itu sebagai bekal untuk kekekalan.