Hari ketiga saya harus menemani Si Kecil di rumah sakit.
Jika hari pertama saya masih penuh percaya diri anak saya pasti bisa pulang cepat. Hari kedua saya masih percaya, walau sudah kehilangan diri – capek soalnya ha ha ha. Kini, hari ketiga, saya sudah kehilangan semuanya.
Bahkan di hari ketiga ini dokter masih belum bisa menemukan apa penyakit yang diderita anak saya. Tubuh anak saya mulai lemas, ia juga mulai tidak mau makan. Makin kasihan melihatnya. Mau tidak mau, kami harus bermalam lagi di kamar VIP kami.
Di malam ketiga ini, saya menemukan sebuah sisi gelap dari kamar VIP kami. Tenang, ini bukan kisah ‘dunia lain’.
Sekarang kami jadi tahu mengapa kamar ini disebut sebagai kamar VIP. Yang pertama, lokasinya sangat dekat dengan perawat sehingga perawat bisa segera datang begitu saya menekan bel. Yang kedua, ternyata kamar yang saya tempati ini berhadapan langsung dengan ruang tindakan tempat setiap anak diinfus dan diambil darah. Itulah alasan mengapa teriakan histeris anak-anak terdengar nyaring sekali dari kamar kami. Belum lagi teriakan-teriakan orang tua yang berusaha menenangkan anak-anak mereka. Luar biasa! Kami benar-benar mendapatkan pertunjukkan secara live setiap hari.
Saya sampai bisa menghafal polanya. Jika teriakan anak mulai terdengar dan tangisannya pecah, sedetik kemudian terdengar suara ayah atau ibu berkata, “Ga sakit, kok, kayak digigit semut aja … Ga sakit …”
Saya pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya ketika diambil darah atau dipasangi jarum infus. Beberapa kali saya juga pernah mengalami digigit oleh semut. Apakah rasanya sama? Mmm … Tidak, ya.
Lho, berarti ayah dan ibu bohong, dong? Bohong banget.
Akan tetapi, bukankah ‘kebohongan’ itu sudah menjadi semacam sebuah ‘kebiasaan’ – setidaknya di sini – untuk membujuk anak setiap kali mereka hendak mendapat suntikan?
Menurut saya, kebohongan seperti itu tidak akan berefek baik.