Dulu saat masih remaja saya suka film horor yang membuat adrenalin naik turun seperti roller coaster. Sekarang tidak lagi.
Mengapa? Karena saya memilih menonton film yang tidak mengganggu pikiran. Film horor jelas membuat kita merasa tidak nyaman dan membuat kita takut di tempat yang seharusnya tidak perlu kita takuti.
Bagaimana dengan film Hotel Transylvania yang sekarang sudah masuk ke episode ke-3? Di samping film kartun dan tidak ada adegan yang menakutkan, kita bisa belajar 3 hal penting sekaligus genting dari film ini.
1. Jangan Mudah Berprasangka Buruk
Ada orang tua yang sejak kita kecil sadar atau tidak ‘mengajarkan’ kita untuk berhati-hati terhadap orang asing. Don’t speak with strangers. Ini ajaran yang baik karena orang asing bisa saja mengasingkan [baca: menculik] anak-anak untuk berbagai keperluan – yang mengerikan diambil organnya untuk dijual. Di sisi lain, peringatan itu membuat kita ‘alergi’ terhadap ‘setiap’ orang asing.
Saat mengunjungi sebuah sekolah di Australia, saya mendekati seorang bocah perempuan yang langsung menatap mata saya sebagai ‘bukan orang bule’. Namun, begitu tahu mamanya ‘oke’, bahkan tersenyum ramah terhadap saya, karena saya tamu kepala sekolah di tempat itu, dia langsung cair, bahkan bisa saya ajak ngobrol.
Prasangka buruk – terutama prasangka ras – sangat menyakitkan hati. Saya diajar oleh mama saya untuk melihat orang dari hatinya.
Film Hotel Transylvania 3—demikian juga yang kedua dan pertama—mengajarkan kita untuk mengakhiri prasangka buruk antara manusia dan monster yang sudah terjadi bertahun-tahun. Di Indonesia, prasangka ras ini sanggup meruntuhkan benteng logika, sehingga kita bisa memilih seorang pemimpin berdasarkan kesamaan – ras dan agama – tanpa mempertimbangkan kualitas karakter dan keunggulan kinerja, apalagi mencermati rekam jejaknya.
Di satu sisi, pelajaran ini baik. Di sisi lain – ini sisi gentingnya – menganggap bahwa monster itu baik menurut saya berlebihan.
Meskipun masih tetap menjadi perdebatan sampai sekarang – ada setan ‘baik’ dan setan ‘jahat’ – bagi saya setan tetap berbahaya. Yang jauh lebih berbahaya, label ‘baik’ inilah yang menjadikan penyamaran yang sempurna dari sisi gelapnya.
2. Kesepian Itu Mengerikan
Inilah yang dialami oleh Drac [suara Adam Sandler]. Kesetiaannya terhadap almarhumah istrinya sungguh mengagumkan. Setelah puluhan tahun ditinggalkan oleh istrinya, Drac memilih untuk menduda agar bisa membesarkan anak tunggalnya Mavis – disuarakan oleh Selena Gomez – tanpa ibu tiri. Mavis, lewat perjuangan batin yang berat, di dua episode sebelumnya, diizinkannya menikah dengan manusia Jonathan [Andy Samberg] sampai ia memiliki cucu, Dennis [Asher Blinkoff].
Saat kedapatan oleh sang putri kesayangan, Mavis, sedang menyendiri di kamar sambil mencari jodoh lewat aplikasi ‘matchmaking monster’, Drac salah tingkah. Mavis gagal paham juga, sehingga menganggap tingkah aneh ayahnya hanya karena sang ayah stres. Dialah yang merancang liburan kejutan naik kapal pesiar ke Segitiga Bermuda yang angker itu.
Ternyata bukan hanya manusia yang mencari jodoh lewat aplikasi online dating, drakula pun juga! Tampaknya Count Dracula perlu baca buku sahabat saya, Vonny Thay—berkolaborasi dengan Hendy Supraptro—yang berjudul REALatiohsip from CYBERspace.
Lewat perjuangan yang sama beratnya dengan menantunya, Drac akhirnya justru zinging [istilah para monster untuk jatuh cinta] dengan Ericka yang lewat pergumulan yang sama beratnya, mengaku kalau dirinya zing juga terhadap Drac.
Apa gentingnya di sini?
Kita memang tidak boleh berprasangka terhadap sesama. Namun untuk menjalin pernikahan, agama apa pun, menganjurkan kita untuk menikah yang seagama. Apalagi ini beda dunia!
Orang Indonesia pun masih alergi, bahkan ngeri, jika ada orang yang menikah dengan setan.
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Pertanyaan retorika dari St. Paul ini perlu kita renungkan.
3. Rekonsiliasi Jelas Membuat Dunia Lebih Indah Ketimbang Dendam yang Dipelihara
Kejutan menarik dari film ini adalah saling jatuh cintanya Drac dengan Ericka. Mengapa mereka sulit dipersatukan? Di sinilah film Hotel Transylvania dengan cerdik memasukkan tokoh legendari di dunia film horor, yaitu Abraham Van Helsing yang mengingatkan kita pada film Van Helsing keluaran tahun 2004. Van Helsing dikenal sebagai ‘ghost hunter’ yang ditakuti dunia kegelapan. Kini di film Hotel Transylvania 3, cucunya justru bertemu dan ‘zing’ dengan musuh bebuyutan kakek buyutnya.
Meskipun diminta untuk ‘menjebak’ dan membunuh Drac bersama teman-temannya sesama monster, Ericka tidak bisa mengingkari hati nuraninya sendiri yang mengagumi Drac. Ketika Drac menyelamatkan nyawanya dari tebasan kapak terbang saat hendak mengambil pusaka keramat, kekaguman Ericka terhadap Drac justru menyuburkan benih cinta yang sudah tertanam di hatinya.
Saat Abraham Van Helsing memainkan nada tertentu, seekor gurita raksasa dari laut muncul dan hendak memangsa semua monster, terutama Drac. Jonathan, suami Mavis, yang memang seorang DJ, memainkan musik damai untuk memerangi musik kegelapan yang dimainkan Abraham Van Helsing. Yang menarik, saat Abraham kalah dan terjatuh ke lautan, justru Drac yang menolongnya.
Ironis, bukan?
Monster justru tidak mau membalas dendam. Seorang manusia yang memelihara dendam berkelanjutan.
Bagian inilah yang paling genting. Agama mana pun memang mengajarkan kasih sayang dan pengampunan. Namun, mengampuni bahkan rekonsiliasi dengan monster jelas keluar jalur.
Jauh lebih baik jika kita ‘menafsirkan’ rekonsiliasi ini sebagai perdamaian antara sesama manusia dan mengampuni manusia yang telah melakukan kejahatan terhadap kita. Kasus keluarga yang mengampuni teroris yang meledakkan bom di tiga gereja di Surabaya patut kita apresiasi.
Meskipun begitu, rekonsiliasi, bahkan menikah dengan setan, jelas bertentangan dengan ajaran agama mana pun.
Jadi?
Tontonlah Hotel Transylvania dengan hati yang terbuka dan otak yang kritis. Share on X
Dampingi anak-anak di bawah usia 17 tahun karena mereka seperti kapas dan spons yang menyerap apa pun tanpa filter. Kasih, disiplin, perlindungan, dan penjelasan dari orang tua merupakan filter terbaik.