Ketika sepasang kekasih memutuskan untuk berpisah dan tetap menjadi sahabat, maka kemungkinannya adalah: keduanya tak pernah benar-benar saling mencintai, atau keduanya masih saling mencintai.
Namun, pengalaman pribadi saya membuktikan bahwa bersahabat dengan mantan itu masih sangat memungkinkan. Share on X
Walau pada awalnya berat, namun seiring berjalannya waktu persahabatan terjalin dengan sendirinya.
Berpisah Baik-Baik
Bisa dibilang hubungan saya dengan mantan yang satu ini termasuk yang paling sulit, namun juga yang paling bersifat dewasa. Bagaimana tidak? Hubungan kami dibatasi oleh jarak yang memisahkan antara Surabaya dan Kanada. Perbedaan zona waktu dan keterbatasan berkomunikasi akhirnya membuat kami memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan.
Kami berpisah baik-baik.
Walau hanya dengan saling bertukar pesan elektronik, kami bisa saling menguatkan dengan sebuah komitmen agar tetap bisa berhubungan dengan baik sekalipun tidak sebagai sepasang kekasih.
Mungkin perpisahan kami yang bisa dikatakan nyaris tanpa masalah ini yang juga menciptakan landasan baru bagi persahabatan kami.
Jika hubungan kami dikatakan tidak bermasalah sama sekali, tentu saja tidak. Pastinya ada perasaan sakit hati. Siapa yang tidak hancur hatinya ketika harus mengakhiri hubungan yang telah terjalin setelah sekian waktu?
Ada juga perasaan menyesal setelah memutuskan untuk berpisah, namun di sisi yang lain ada keraguan untuk melanjutkan kembali.
Selain itu, masing-masing kami juga merasa sedih karena harus kehilangan seseorang yang pernah memiliki arti khusus di dalam kehidupan kami. Akan tetapi kami meyakini bahwa semua itu adalah yang terbaik bagi kami.
Move On dan Mulai Berkomunikasi Lagi
Pada awalnya saya berusaha sedapat mungkin untuk menghindari segala bentuk komunikasi dengan Si Dia. Saya takut hati saya tidak akan sanggup menghadapi kerumitan akibat rasa sakit yang berlanjut nantinya. Namun suatu hari saya memutuskan untuk membuka sebuah pesan darinya yang ada di ponsel saya. Ini saya lakukan ketika saya benar-benar yakin telah move on dari dirinya.
Saya tersenyum di dalam hati karena suatu hal yang menjadi momok bagi saya selama ini ternyata sangat mudah saya atasi! Pesan singkatnya hanya berisi pertanyaan tentang bagaimana kabar saya. Apakah saya baik-baik saja? Ia menanyakan ini karena ia sendiri merasa keadaannya tidak begitu baik.
Awalnya saya mengira diri saya akan langsung terbawa perasaan. Saya pikir saya akanĀ langsung menghubunginya, lalu memohon-mohon untuk merajut hubungan baru lagi dengannya.
Namun ternyata saya tidak melakukan hal yang demikian itu. Sebersit pun keinginan untuk memohon-mohon kepadanya sama sekali tidak ada. Sebaliknya, saya mencoba untuk berpikir dan bersikap dewasa.
Saya membalas pesan singkatnya layaknya seorang teman baik. Melakukan seperti ini seharisnya tidak begitu sulit bagi saya karena pada awalnya kami juga adalah teman baik. Ia dulu banyak membantu saya dalam berbagai hal, begitu juga sebaliknya. Kini kami seperti seolah-olah kembali pada awal mula pertemanan kami.
Saya sendiri tadinya tak pernah menyangka bisa memiliki keberanian untuk memulai berkomunikasi dengannya kembali. Mungkin ini karena saya telah yakin dan telah memutuskan untuk tidak menoleh ke belakang. Atau, bisa jadi karena memang sejak semula kami adalah dua orang sahabat dekat sehingga memungkinkan bagi kami untuk kembali berkomunikasi dengan baik.
Apapun itu, saya hanya berpikir jauh lebih baik dan lebih nyaman bagi saya maupun dirinya untuk menjadi sahabat daripada menjadi seperti musuh. Toh kami dulu mengawali semuanya dengan baik, maka kami pun pasti bisa mengakhirinya dengan baik pula.
Memiliki Keluarga dan Pasangan yang Tidak Memersoalkan Persahabatan Saya dengan Dia
Sejak awal keluarga saya dan suami saya mengetahui bahwa saya memiliki banyaaakkkk sekali sahabat pria–salah satunya mantan pacar saya yang kini telah beralih status menjadi sahabat. Orang tua dan suami saya sama sekali tidak memermasalahkan hal ini, bahkan menunjukkan sikap mendukung.
Pada hari pernikahan saya, saya bahkan mengundang mantan saya dan juga seluruh keluarganya karena keluarga saya juga bersahabat baik dengan keluarganya. Suami saya pun tak pernah memermasalahkannya dan sampai saat ini pun tak pernah terjadi konflik antara saya dan suami karena hal ini. Suami saya percaya bahwa hubungan saya dan mantan hanyalah sebatas sahabat dan tidak lebih dari itu.
Tidak ada lagi perasaan cinta yang tersisa di antara kami yang mengarah pada hubungan romantis.
Kami hanya saling menyayangi sebagai sahabat.
Kesimpulannya?
Tidak benar jika mantan kekasih tidak bisa menjadi sahabat kita. Memang sukar mewujudkan hal ini dan saya sendiri mengakuinya. Namun yang sulit bukan berarti tidak mungkin.
Jika kedua pihak sama-sama bisa bersikap dewasa, menatap lurus ke depan dan tidak mengungkit masa lalu, maka semuanya akan lebih mudah. Bukan berarti dulu kami tidak saling mencintai, dan tidak juga berarti kami sekarang masih saling mencintai. Namun tidak juga berarti kita masih menyimpan rasa suka antara satu sama lain, tidak sama sekali. Perasaan kami kini hanya sebuah perasaan yang sewajarnya saja antar dua sahabat. Tidak kurang tidak lebih.
Kini saya telah berkeluarga. Saya memiliki suami yang hebat dan anak-anak yang luar biasa. Sekalipun mantan saya inu masih belum memiliki pasangan atau belum memiliki keinginan untuk berkeluarga, ia menunjukkan sikap yang sangat menghargai saya dan keluarga saya. Ia turut berbahagia melihat saya berbahagia. Begitu pula sebaliknya; saya berbahagia jika melihat dia berbahagia.
Jika saya bisa mematahkan anggapan bahwa mantan tak mungkin menjadi teman, maka kemungkinannya Anda pun bisa. Namun, tetaplah waspada dan buatlah batasan-batasan sehingga Anda tidak terpeleset.