Sahabat saya, Maria dan Fella, memberi saya pemicu untuk menulis tentang hubungan putus-nyambung ala Justin Bieber. Kebetulan. Di hari libur, saya dihubungi tiga gadis yang menyatakan diri putus dengan pacar masing-masing, padahal ketiganya sudah siap menikah tahun ini.
Sejak memimpin Young Profesional Camp di Philip Island, Melbourne, semakin banyak saja muda-mudi yang konseling baik via WA – yang tinggal di luar negeri – maupun datang langsung ke saya.
“Setelah sesi foto pre-wed di Eropa pacar saya memutus hubungan begitu saja dengan saya. Without sensible explanation,” ujar gadis yang menyelesaikan kuliahnya di Seattle ini.
“Katanya, ‘Belum siap’ begitu saja,” ujar model clothing-line terkenal di Jakarta.
“Orangnya kasar. Saya – dan terutama orang tua – tidak siap menerimanya menjadi anggota keluarga kami,” ujar seorang usahawan muda. “Sebenarnya, saya masih mencintainya. Apa saya harus memberinya kesempatan untuk berubah, Pak Xavier?”
“Kayak layang-layang saja,” ujar saya kepada Maria dan Fella yang memantik jemari saya untuk menulis kasus hubungan putus-nyambung ala Justin Bieber dan Selena Gomez ini.
Apakah kita bisa memberi waktu kepada mantan pacar untuk berubah? Lalu setelah itu kita terima kembali? Seberapa lama waktunya?
“Bener Kita Bubar, Nih?”
Pertanyaan ini sebenarnya sudah harus kita pertimbangkan sebelum kita berkata, “Putus!” Mengapa? Jangan sampai kita dihantui penyesalan setelah mengucapkan kalimat itu. Bisa jadi mantan pacar kita akan berkata, “Ah, syukur kita putus. You kekanak-kanakan sih!”
Keputusan yang baik tidak diambil hanya karena emosi sesaat melainkan melalui pertimbangan yang matang dari berbagai segi.
Alasan yang Salah untuk Putus
“Pacarku kurang perhatian.”
“Dia lebih mementingkan studi ketimbang aku.”
“Baginya pekerjaan itu nomor satu sedangkan aku nomor dua.”
“Orang tuanya kok cuek begitu, ya?”
“Dia jarang bisa menemaniku.”
“Orangnya kurang romantis, deh.”
“Si Dia pendiam abis.”
“Pelit.”
“Pacarku lebih mementingkan keluarganya ketimbang aku.”
“Adiknya mengganggu terus.”
Pernyataan di atas belum tentu sesuai dengan kenyataan. Alasan putus hanya karena kesepuluh hal di atas tampaknya terlalu menyederhanakan masalah. Bisa jadi asumsi Anda terhadap pacar Anda salah.
Coba kita cek satu per satu, ya.
“Pacarku kurang perhatian.”
Benarkah? Jangan-jangan dia lagi fokus mengerjakan sesuatu yang amat penting bagi kariernya. Kasus calon perwira polisi yang sedang menuntut ilmu tentu saja tidak bisa memberikan perhatian penuh kepada pacarnya. Eh, malah ditinggal menikah dengan orang yang baru saja dikenalnya. Orang baik Tuhan gantikan dengan yang lebih baik.
“Dia lebih mementingkan studi ketimbang aku.”
Ya jelas, lah. Waktu masih bertugas di luar negeri, jika ada pelajar yang karena pacaran nilainya menurun, saya panggil dan tegur.
“Ingat, orang tuamu kirim kalian ke sini dengan biaya tinggi. Jangan sia-siakan pengorbanan mereka.”
“Baginya pekerjaan nomor satu dan aku nomor dua.”
Ya, ampun. Jika masih pacaran sudah menuntut seperti ini, bagaimana pasangan bisa fokus mencari nafkah? Seorang mahasiswa jurusan perfilman di Amerika menceritakan, dia terpaksa harus putus dengan pacarnya karena pacarnya terus-menerus meneleponnya di jam kerja.
“Orang tuanya kok cuek begitu, ya?”
Bisa jadi ini hanya asumsi yang salah. Kalaupun benar, bisa jadi karena kalian memang belum akrab. Bagaimana bisa dekat jika you menjauh?
“Dia jarang bisa menemaniku.”
Ini lagi. Jarang menemani bukan berarti tidak serius. Jika dia masih studi atau merintis karier, dia butuh fokus agar sukses. Pacar yang baik justru mendukung pasangannya untuk sukses.
“Orangnya kurang romantis, deh.”
Jangan alay dan lebay. Apalagi membayangkan pacar kita seperti bintang drama Korea atau French lovers. Memangnya pernikahan bisa dibiayai dengan sikap romantis belaka. Jika Anda merasa lebih romantis, ajarin, dong, pacarmu? Bukan diputus begitu saja!
“Si Dia pendiam abis.”
Mirip dengan di atas, pembawaan seseorang berbeda-beda. Jika ingin punya pacar yang ‘rame’, pacaran saja dengan penjual jamu. Wkwkwk.
“Pelit.”
Pacar yang pelit memang nyebelin. Coba cek apakah dia pelit atau ekonomis. Bedanya memang setipis rambut. Namun, dari ‘jam terbang’ Anda bersamanya, saya yakin Anda bisa membedakan apakah dia irit agar bisa membiayai pernikahannya sendiri, membangun rumah tangga yang lebih solid, atau memang pelit?
“Pacarku lebih mementingkan keluarganya ketimbang aku.”
Ingat satu hal ini: Dia dilahirkan selama puluhan tahun dan mungkin mengenal Anda baru sekian minggu atau bulan. Bagaimana dia tidak mencintai keluarganya? Justru pacar yang memperhatikan keluarganya adalah calon pasangan yang baik bagi Anda.
“Adiknya mengganggu terus.”
Kalimat itu dilanjutkan, “Apa adiknya tidak senang denganku, ya?” ujar seorang gadis manis.
Saya bilang tidak. Selama ini kakaknya yang melindungi dia terus. Begitu punya pacar, dia merasa perhatian kakaknya Anda rebut. Justru Andalah yang harus mengambil hati adiknya.
Alasan yang Benar untuk Putus
- Pacar Anda melakukan KDRT. Jika belum menikah saja sudah berani begitu, apalagi saat sudah menikah.
- Selingkuh. Memang ada orang yang bisa mengampuni pacar yang nakal. Namun, jika dia memang sudah mbeling, apakah Anda kuat jika diperlakukan seperti itu terus menerus?
- Menjadikan Anda sapi perah. Jika Anda dijadikah ATM berjalan, lebih baik putus saja. Pasangan semacam ini tidak punya harga diri. Untuk apa dipertahankan.
- Tidak menghormati orang tua Anda, padahal orang tua Anda baik. Tidak ada alasan baginya untuk membenci orang tua Anda.
- Terlalu mengekang Anda. Apa saja yang dulu Anda lakukan sekarang tidak boleh lagi. Kalau tidak cemburu buta, artinya pasangan Anda paranoid.
- Meminta Anda meninggalkan keluarga agar bisa terus bersamanya. Ini namanya kurang ajar! Apalagi kalau sampai memengaruhi Anda untuk membenci keluarga Anda sendiri.
- Beda keyakinan yang tidak bisa lagi ditolerir. Bagi pemeluk agama yang kuat, beda keyakinan adalah harga mati untuk tidak bisa jalan bersama.
Daftarnya bisa Anda tambahkan sendiri setelah bergaul dan menggali pengalaman dari mereka yang sudah menikah. Jangan sampai Anda jatuh ke lubang yang sama.
Jika Anda sedang mengalaminya atau ada orang lain yang punya kasus mirip, satu click untuk men-share artikel ini bisa jadi menyelamatkannya dari pernikahan bak neraka.
Bagaimana dengan putus dan nyambung lagi? Seperti yang saya sampaikan,
Seharusnya Anda berpikir masak-masak sebelum memutuskan pacar. Demikian juga untuk sambung kembali, dibutuhkan pemikiran yang jauh lebih matang. Share on XKarena rasa sakit yang terulang membuat luka yang semakin dalam dan trauma yang sulit disembuhkan.