Saya dan suami berpacaran pertama kali karena ada yang mengatakan kalau wajah kami mirip. Kisah kami berawal dari sebuah pertemuan di gereja. Saya adalah mahasiswa Teologi yang sedang praktik satu tahun di gereja Semarang, sedangkan dia adalah pengurus gereja [majelis – kami menyebutnya] di sinode yang sama, hanya saja dia bergereja di Banyumanik.

Kami bertemu di acara perayaan Paskah bersama antara gereja yang saya layani dan gereja tempatnya berjemaat. Salah seorang rekan pemuda di gereja yang saya layani berkata kalau wajah kami sangat mirip. Berbekal rasa penasaran, kami pun berkenalan. Setelah menjalani masa pendekatan yang cukup singkat, kami memutuskan untuk berpacaran.

Apakah wajah yang mirip itu pada akhirnya menjadi takdir kami bersama? Apakah kalau jodoh pasti wajahnya mirip? Atau, kalau wajahnya mirip pasti berarti jodoh?

 

Kenyataannya, hanya wajah kami yang mirip. Sifat kami berbeda langit dan bumi.

Saya berwatak keras seperti orang Timor pada umumnya sedangkan dia sangat lembut seperti orang Jawa pada umumnya. Saya suka mengambil keputusan cepat, dia dipenuhi dengan banyak pertimbangan. Saya terhitung boros, sementara dia sangat perhitungan dalam menggunakan uang.

Kalau cuma mengandalkan wajah yang mirip, rasanya tak mungkin kami bertahan enam tahun berpacaran dan delapan tahun menikah. Bayangkan, 14 tahun bersama.

Kami tidak pernah berusaha memiripkan sifat-sifat kami. Akan tetapi, kami saling beradaptasi satu sama lain. Saya belajar bagaimana mengatur keuangan dengan baik dari suami dan suami saya belajar berpikir cepat dan tepat dalam mengambil keputusan.

Apakah mudah? Tidak. Akan tetapi, kami mau saling mengakui kalau ternyata apa yang menjadi sifat dan pilihan sikap pasangan kami itu memang yang terbaik darinya dalam tiap situasi.

Perbedaan paling prinsip di antara kami adalah saya terpanggil menjadi pelayan Tuhan di gereja sedangkan suami tetap bekerja di perusahaan swasta.

 

Menurut saya,

Anugerah Tuhanlah yang sangat dibutuhkan dalam urusan jodoh, lebih dari sekadar soal kemiripan wajah. Share on X

Jika bukan karena Tuhan, tidak mungkin saya dan suami bisa bersatu dalam pernikahan.

Saya mendapatkan banyak masukan tentang sulitnya jika hamba Tuhan perempuan menikah dengan lelaki yang tidak penuh waktu melayani sebagai hamba Tuhan. Saya melihat banyak contoh teman-teman yang tidak lagi bisa melayani ketika menikah dengan suami yang tidak berprofesi sama.

Akan tetapi, kalau Tuhan yang berkehendak, Dia juga yang memberikan jalan bagi kami. Sejak awal, suami saya berkomitmen untuk tidak akan menghentikan pelayanan saya di gereja karena itu adalah panggilan Tuhan. Hanya Tuhan saja yang bisa menghentikan panggilan itu atas saya. Tidak dirinya, tidak siapa pun juga. Pernyataan itu tepat seperti tanda yang saya minta dari Tuhan: seorang suami yang mendukung saya dalam pelayanan yang Tuhan percayakan.

Jika memang ia jodoh kita,

wajah tidak harus mirip tetapi konfirmasi yang diberikan Tuhan dalam hati kita atau hati pasangan kita pastilah sinkron.

 

Yang terakhir, pengalaman saya membuktikan bahwa

Jodoh itu bukan masalah kemiripan wajah, lebih penting dari itu adalah apakah orang tua merestui atau tidak.

Suami saya sebenarnya bukan tipe lelaki ideal yang saya sukai. Meskipun demikian, dia yang terbaik dan tepat buat saya.

Sebelum menikah, saya juga mengalami pergumulan mencari dan menemukan pasangan hidup. Sebuah pola yang saya amati: setiap kali orang tua saya tidak menerima calon pilihan saya, berjuang sekeras apa pun tidak akan membawa mereka kepada saya.

Saya meyakini, feeling orang tua soal pasangan hidup saya tepat. Bahwa pilihan saya bisa jadi bukan yang terbaik dari Tuhan buat saya.

Hari ini saya bersyukur karena papa mama saya pernah tidak menyetujui pilihan-pilihan saya. Berkat ketidaksetujuan merekalah saya kini mendapatkan yang terbaik.

Ketika di tahun keempat hubungan saya dan [waktu itu calon] suami putus, mama saya menangisi putusnya kami. Ketika dalam masa putus itu saya mendoakan orang lain sebagai pasangan hidup saya, Tuhan tunjukkan kalau orang itu tidak setia. Dan sepanjang waktu penantian itu, suami sayalah yang terus Tuhan hadirkan dalam hidup saya.

 

Jadi, untuk kamu yang sedang mencari jodoh, pasangan hidup, perhatikanlah hal-hal ini:

Tidak ada pasangan yang sempurna, yang 100% cocok. Akan tetapi, jika dia mau berusaha menyesuaikan kebiasaan dan segala yang ada pada dirinya denganmu, mungkin dialah yang disedikan Tuhan buatmu. Karena hanya dia yang benar-benar mencintaimu yang mau berkorban, mengubah dirinya jika memang harus, demi hubungan kalian yang lebih baik.

Selanjutnya, mintalah petunjuk dan tanda dari Tuhan. Tuhan, kan, Mahatahu, jadi mintalah Ia memberikan pengetahuan-Nya kepada kita sehingga kita tahu mana yang tepat yang telah disediakan-Nya buat kita.

Yang tidak kalah penting, dapatkanlah restu orang tua. Itu berkat yang tak terhingga besarnya dalam perjalanan hubunganmu dengan pasangan.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here