“Kak, saya ingin ketemu dan ngobrol. Bisakah?” begitu kira-kira pesan singkat yang saya tuliskan melalui aplikasi WhatsApp kepada seorang kakak rohani saya beberapa bulan yang lalu.
Sesuatu terjadi pada saya. Dan sejujurnya, saat itu saya tidak merasa baik-baik saja. Curhat ke beberapa teman tidak berhasil mengubah cara pandang dan membuahkan solusi bagi saya.
“Relasiku dengan si X berakhir, Kak. Entah kenapa, bukan perasaan sedih dan kecewa yang ada di dalam hati, tetapi rasa marah dan tidak puas terhadap keputusan yang telah diambilnya.”
Dua kalimat itu membuka pertemuan kami di pojok sebuah depotĀ fusion food.
Sengaja saya meminta untuk bertemu di sana. Sebuah tempat yang sepi dari hiruk pikuk, di mana pembicaraan kami dapat berlangsung dengan tenang, tanpa gangguan dari suara-suara lain yang tidak diperlukan.
Sambil memesan makan siang, saya pun mengisahkan kembali perjalanan relasi saya dengan si X. Sebuah relasi yang sengaja tidak kami publish. Bukan karena menyembunyikan sesuatu, kami hanya merasa lebih nyaman jika relasi itu hanya diketahui oleh kami berdua dan orang-orang terdekat.
Saya dikenalkan kepadanya kira-kira 4 tahun yang lalu dalam sebuah pertemuan yang singkat. Seusai pertemuan itu, sejujurnya tak banyak hal terjadi. Sekadar bertukar nomor telepon lalu kembali ke kesibukan sehari-hari masing-masing, bisa dikatakan seperti itu.
Akan tetapi, sekitar setahun yang lalu kami kembali bertemu. Saya kembali menemuinya. Dan karena usia yang sudah tak lagi muda, saya mengutarakan apa yang menjadi tujuan saya dari relasi kami kepadanya. Gayung pun bersambut.
Relasi kami berjalan sama seperti pasangan-pasangan yang lain. Beberapa rencana jangka panjang bahkan sempat kami bicarakan. Bagai air tenang yang sepi dari riak, begitu saya menggambarkan hubungan kami. Memang, tak pernah ada permasalahan besar yang cukup mengganggu, selain kesibukan kami masing-masing dan jarak yang memisahkan, sebab dia tinggal di kota lain yang berjarak ratusan kilometer dari tempat saya tinggal.
Namun, tak ada riak bukan berarti tak ada masalah. Jauh di dasar permukaan air yang kelihatan tenang itu, salah satu dari kami ternyata menyimpan sebuah pergumulan, sebuah bibit masalah yang tidak dibagi tetapi disimpan sendiri.
Kesibukan masing-masing, yang bukannya berkurang malahan terus bertambah, menyebabkan komunikasi kami beberapa kali terganggu. Permasalahan-permasalahan kecil yang seharusnya bisa langsung diselesaikan dibiarkan tertunda beberapa saat. Dan kualitas komunikasi kami pun memburuk dan menjadi semakin buruk saja.
Hingga akhirnya ia mengambil keputusan itu: putus.
Jujur, saya hanya bisa bengong saat itu.
Saya tak merasa ada sebuah masalah yang begitu seriusnya yang sedang kami hadapi. Saya tak menyangka, seseorang bisa dengan begitu mudahnya memilih untuk mengakhiri sebuah relasi, bukannya mempertahankan, memperjuangkan, atau memperbaiki relasi itu agar menjadi lebih baik ke depannya.
Bukankah sebuah relasi adalah tentang perjuangan dua orang yang telah berkomitmen untuk saling mengenal, saling mengerti, dan saling memberikan kesempatan untuk mengubah diri, satu dengan yang lain?
Terus terang, ini pengalaman baru buat saya.
Baca Juga: Ketika Kamu Merasa Tak Sanggup Lagi Bertahan, Bagaimana Cara Terbaik Mengakhiri Hubungan?
Di tengah kepungan rasa marah dan kecewa di dalam hati, kakak rohani saya mendoakan saya. Mendoakan agar saya bisa berdamai dengan perasaan saya, mendoakan agar saya memberi pengampunan kepada ia yang telah melukai saya.
1. Berdoa
Tidak ada cara lain, hanyalah dengan berdoa. Share on XPerlahan saya berusaha menerima kenyataan, walaupun masih tak bisa dipahami dari sudut pandang saya pribadi. Saya meminta tuntunan dari Tuhan agar rasa marah dan kecewa ini semakin berkurang dari hari ke hari.
Tidak mudah memang, terlebih ketika Tuhan tidak secara langsung menjawab doa saya secara audible. Namun, dalam keheningan waktu pribadi saya bersama dengan Tuhan, saya mendapati Tuhan semakin memberikan ketenangan dalam hati saya. Semakin banyak waktu saya bersama-Nya, semakin banyak saya bisa mulai mengerti rencana-Nya atas semua yang telah terjadi di masa lalu.
2. Memahami bahwa Si X adalah Manusia Biasa
Ekspektasi saya memang agak tinggi sejak awal berelasi dengan si X. Dia adalah lulusan dari sebuah universitas ternama dan menyandang sebuah jabatan tertentu terkait dengan pekerjaannya. Dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan itu, saya beranggapan bahwa dia sudah ‘matang’ baik dari sisi psikologis, cara berpikir, maupun cara mengambil keputusan. Ternyata saya salah mengira.
Si X hanyalah manusia biasa. Ia sama seperti gadis-gadis lain, yang cara berpikirnya terkadang susah dimengerti oleh pria.
Seiring berjalannya waktu, saya bisa berdamai dengan keputusannya. Dulu saya berpikir keputusan ini begitu mudah dibuat tanpa berpikir panjang, namun akhirnya saya menyadari bahwa setiap orang – siapa pun itu – bisa saja membuat kesalahan dalam hidup, termasuk mereka yang mengemban jabatan tertentu dalam pekerjaannya.
3. Mengambil Waktu Pribadi bersama Tuhan
Bedanya dengan berdoa apa? Saya menerjemahkan waktu pribadi bersama Tuhan dengan cara mendengarkan lagu-lagu rohani yang menenangkan hati dan membaca buku-buku rohani yang menguatkan saya.
Terkadang Tuhan menjawab doa-doa yang terpanjat lewat lirik lagu-lagu yang saya dengarkan atau lewat kalimat-kalimat dalam buku yang saya baca.
Dahulu mungkin saya tak saya mengerti, tetapi sekarang setidaknya saya mendapatkan sebuah sudut pandang baru.
4. Time to Move On
Kalau kita tak segera beranjak dari kegalauan yang ada, maka kegalauan itu yang akan berdiam menyertai kita sepanjang jalan yang akan dilalui.
Masa peralihan adalah masa yang berat. Diperlukan keberanian untuk beralih dari rasa nyaman yang selama ini dirasakan menuju sebuah rasa baru di depan yang belum tentu kita tahu akan seperti apa.
Namun, satu hal yang saya tahu,
Masa peralihan akan membentuk kita menjadi sosok yang lebih kuat. Dan, bukan tidak mungkin, melaluinya kita bisa menemukan sisi lain dari diri kita yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya.
Tak terasa makan siang kami habis sudah. Saya amat bersyukur memiliki beberapa orang yang bersedia memberikan waktu dan telinga mereka untuk mendengar pergumulan yang saya. Saya juga bersyukur memiliki banyak kawan yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dengan cara mereka masing-masing yang unik.
Mengampuni orang memang berat, terlebih ketika kita telah terluka karenanya. Namun, bukankah jauh lebih berat berjalan ke depan tanpa terlebih dahulu melepaskan pengampunan itu?