Lina dan Bona telah menikah selama 15 tahun, dengan kehidupan pernikahan yang diimpikan oleh banyak orang. Karir Bona yang terbilang bagus membuatnya mampu mencukupi kebutuhan keluarganya dengan baik. Sementara Lina, sang istri, memiliki profesi sebagai guru di sebuah sekolah unggulan. Mereka sering berlibur bersama dengan anak-anaknya ke luar negeri. Sekilas terlihat menyenangkan, bukan?

Namun sayang, suatu ketika Lina memilih meninggalkan suaminya yang terkenal lurus dan setia. Ketertarikannya untuk bermain api dengan mantan pacarnya membuat Lina berkelana meninggalkan pernikahannya.

Ternyata, selama ini Lina masih bertanya,” Di manakah belahan hatinya?” Lina ingin merasakan cinta khas masa lalu: jatuh cinta dengan segala getarannya. Ia masih mencintai sang suami, namun tak merasakan getaran-getaran emosi lagi padanya. Baginya, sensasi jatuh cinta harus selalu ada untuk memuaskan kehidupan pernikahannya.

Kasus seperti Lina dan Bona nyatanya cukup sering ditemukan. Benarkah pernikahan tidak memiliki cinta sejati saat suami dan istri tidak lagi merasakan getaran-getaran emosi seperti layaknya cinta pertama?

Dalam buku yang berjudul “The Power of Positive Wife” Karol Ladd mengemukakan 3 pemahamanan tentang cinta sejati:

1. Relasi Bermasalah adalah Tanda bahwa Pasangan Bukan Belahan Jiwa yang Sesungguhnya

Aroma film dan novel romantis nan manis selalu tersaji dengan pemahaman bahwa ada satu cinta sejati yang tersedia bagi kita. Jika pernikahan bermasalah, berarti pasanganmu bukanlah cinta sejatimu.

Nyatanya, cinta sejati bukan tercipta begitu saja. Kasih sejati lahir dari keputusan untuk tetap berusaha membangun cinta, meskipun harus dididik dan didewasakan oleh serangkaian pengalaman yang menyakitkan. Kasih harus disiram dan dipupuk untuk menghasilkan buah keteladanan yang sejati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here