“Calon pegawai baru ini oke banget,” begitu kekasih saya mengawali kisahnya mengenai seorang pelamar di kantornya.

Dengan gamblang ia lantas mendeskripsikan pelamar tersebut. Latar belakang, riwayat kerja, skill, dan pembawaan si pelamar selama wawancara membuat baik dirinya maupun HRD di kantornya terpukau. Ceritanya begitu menarik sehingga saya pun ikut-ikutan setuju bahwa pelamar tersebut memanglah calon pegawai idaman.

Mereka sudah sepakat akan menerima calon pegawai tersebut. Namun, tiba-tiba saja seorang rekan pewawancara dari HRD berujar, “Sebentar, Pak. Biar saya stalking dulu akun medsosnya.”

Berbeda dengan kata-kata positif dan sopan yang diucapkan saat wawancara, di dunia maya sang pelamar itu lebih sering menggunakan kata-kata bernada negatif. Ia cenderung memberi rating buruk pada hampir semua tempat yang pernah dikunjunginya, bahkan menyertakan komentar-komentar yang sifatnya menjatuhkan. Termasuk juga terhadap calon tempat kerjanya.

Bukan hanya mengejutkan, fakta ini tentunya juga mengecewakan. Ternyata sang pegawai idaman tak sebaik apa yang ditampilkannya. Tidak butuh waktu lama, hanya selang satu dua hari, keluarlah keputusan tegas bagian HRD untuk menolak pegawai idaman tersebut.

Dari kisah yang dialami oleh kekasih saya, paling tidak ada tiga hal yang bisa kita pelajari:

 

 

1. Akun media sosial juga bagian dari penampilan kita, sebuah CV yang hidup. Click To Tweet

Entah apa pastinya yang melatarbelakangi rekan HRD kekasih saya itu untuk stalking akun media sosial para pelamar kerja di kantor mereka. Namun, saya setuju dengan tindakannya.

Di era digital seperti sekarang ini, akun media sosial adalah bagian dari identitas kita. Mau tidak mau, suka tidak suka, apa yang kita tampilkan di situ menunjukkan juga jati diri kita yang sebenarnya.

Oleh karena itu, kita perlu bijak dalam meng-update status maupun meng-upload gambar.

 

2. Akun media sosial bisa digunakan untuk menutupi atau menelanjangi kehidupan pribadi

“Si Bunga sudah putus, ya, sama pacarnya?” tanya seorang teman.

Saya mengangkat bahu. “Sepertinya begitu, tapi nggak kelihatan juga.”

Entah apa yang membuat si Bunga putus dari pacarnya. Tak seorang pun berani bertanya. Akun media sosialnya pun deactivated. Selang beberapa bulan kemudian masih ada saja yang tidak tahu kalau mereka sudah putus. Bisa dibilang, Bunga menutupi kenyataan pahit itu. Ketika hatinya sedang terluka, ia tak ingin banyak orang membahas kandasnya hubungan dengan sang kekasih.

Bukankah gosip memang sering kali menambah pedih dan perih di hati?

Saya senang Bunga sadar bahwa ia bisa menjadi sumber gosip utama bagi dirinya sendiri.

Sebaliknya …

Untuk tahu gosip terakhir dari orang tertentu, saya tak perlu repot-repot cari teman ngerumpi. Saya juga tidak perlu stalking akun media sosialnya. Pasti muncul dengan sendirinya di depan mata saat saya membuka berbagai aplikasi media sosial ataupun messenger. Status, foto-foto, bahkan story-nya bagaikan spam yang muncul bertubi-tubi. Tidak susah juga untuk menerka apa yang sedang ia alami dan rasakan, apalagi memberikan sebuah penilaian.

Kalau ditanya langsung, sih, orangnya tidak akan menjawab dengan jujur. Namun, dengan blak-blakan ia ceritakan semua via akun media sosial pribadinya.

Unik memang, tapi inilah realita di sekeliling kita.

 

3. Akun media sosial bisa menjadi bumerang

Selepas peledakan bom di tiga gereja di Surabaya, beberapa orang dengan cuainya menyebut tragedi tersebut sebagai pengalihan isu. Tak sedikit pula yang malah menjelek-jelekkan agama tertentu. Tak lama kemudian, kita membaca berita bagaimana orang-orang ini ditangkap dengan tuduhan menyebarkan ujaran kebencian.

Peribahasa “mulutmu harimaumu” rasanya masih relevan di era digital ini. Statusmu bisa menjadi penjaramu. Oleh karenanya, mari belajar menggunakan akun media sosial kita dengan bijaksana.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here